Pendidikan, termasuk di dalamnya adalah perguruan tinggi, merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan sekaligus kualitas bangsanya. Jika dalam masa kolonial pun bangsa kita membutuhkan pendidikan yang berkualitas, maka sungguh bebal para pemimpin negara ini jika mengabaikan pentingnya pendidikan. Benarkah pendidikan kita diabaikan pemerintah dan para petinggi negeri di zaman reformasi ini? mungkin saja pengabaian tidak terjadi secara vulgar seperti misalnya membubarkan sekolah dan mendirikan kantor-kantor partai yang mewah untuk tempat pengumpulan massa pemilu.
Namun, jika melihat dari mahalnya biaya pendidikan, maka wujud pengabaian terhadap pendidikan itu bisa dibuktikan. Hal ini terbukti, ketika ternyata masa krisis yang belum usai ini biaya pendidikan perguruan tinggi kian melangit. Pasca munculnya UU otonomi daerah yang di dalamnya memuat kebijakan otonomi kampus, berbagai perguruan tinggi kemudian tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Ada empat perguruan tinggi yakni UI, ITB, UGM, dan IPB yang terkena kebijakan ini. Dengan model pengelolaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) ke empat perguruan tinggi ini tidak lagi memperoleh subsidi. Dan karenanya para rektor dituntut untuk mencari biaya sendiri, dengan caranya masing-masing.
Dari konteks inilah kemudian, otak para pengelola pendidikan dituntut kreatif untuk menghasilkan sumber-sumber dana. Beberapa kreatifitas itu adalah menjual beberapa aset, menodong para alumni — terutama para alumni yang pernah mendapat beasiswa dari perguruan tinggi dirinya menimba ilmu. Hal yang paling menarik untuk dibicarakan adalah, bahwa dalam rangka menghasilkan biaya tersebut pihak rektor tak segan-segan menawarkan bangku kuliahnya dengan tarif yang tinggi. Namun fakta telah menunjukkan banyak kasus; calon siswa yang berani mengisi formulir dengan biaya sumbangan uang gedung di atas rata-rata dipastikan diterima menjadi siswa, dan mereka yang mencantumkan sumbangan di bawah perhitungan finansial perguruan tinggi tak akan bisa masuk kuliah.
Memang, bisa saja pihak perguruan tinggi memberikan kompensasi bagi para siswa yang telah diterima. Kompensasi misalnya, dengan memberikan jaminan layanan pendidikan yang bermutu, penyediaan fasilitas baru, pengembangan perpustakaan, riset, biaya studi banding dll. Tapi, bagaimanapun juga kompensasi ini tidak dapat lagi memberikan kemurnian pendidikan sebagai salah satu bidang yang menjadi hak setiap orang hidup. Sebab dengan demikian, yang dapat menikmati pendidikan unggulan hanyalah mereka anak-anak orang kaya.
Lalu, bagaimana mereka anak-anak muda yang cerdas, berdedikasi tinggi, berkemauan keras dan punya segudang bakat tapi tak bisa melanjutkan kuliah karena tidak memunyai cukup uang? Yang demikian inilah persoalan klasik yang menimpa pendidikan di negara kita. Belum lagi secara kualitas sarana dan mutu pendidikan memenuhi standar globalisasi terpenuhi, anak-anak muda kita harus menelan pil pahit untuk terpaksa berhenti kuliah di usia produktifnya dalam rangka meningkatkan SDMnya.
Pendidikan memang tidak berdiri sendiri. Ia sangat terkait dengan berbagai kepentingan pihak-pihak dominan, terutama para pemegang kekuasaan politik dan kekuasaan modal. Terutama dalam keterkaitannya dengan industrialisasi, kepentingan kapitalisme dalam dunia pendidikan telah bisa kita saksikan semenjak tahun 1970-an. Semenjak tahun ini, bersamaan dengan tegaknya pilar ideologi pembangunanisme (developmentalism) yang dibawa oleh pemerintahan orde baru, pendidikan kita mulai kehilangan ruhnya sebagai satu pilar utama peningkatan SDM yang memunyai visi kemanusiaan.
Memperhatikan nasib pendidikan di negara ini, kita hanya bisa mengelus dada. Yang paling menyedihkan dari semuanya adalah bahwa pemerintah selama ini terkesan tidak serius memberikan perhatian bagi terpenuhinya pendidikan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Ironis pula ketika biaya pendidikan yang minim tersebut ternyata banyak mengalami kebocoran yang mana kejahatan tersebut dilakukan oleh para praktisi pendidikan itu sendiri. Karena itu, dalam waktu dekat ini, harapan kita kepada para elit politik, agar kembali menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses memajukan rakyat agar bangsa ini bisa membuktikan bahwa Indonesia masih ada.
USBN Seni Budaya 2019
5 tahun yang lalu